Drama dibalik Pendangkalan Pelabuhan Pulau Baai, Bukan Sekadar Soal Lumpur

Pelabuhan Pulau Baai—titik vital logistik BBM dan penumpang bagi Bengkulu dan Pulau Enggano—telah menghadapi pendangkalan drastis sejak 2018. Dalam artikel ini, Dani Fazli selaku relawan energi terbarukan dan lingkungan akan mengurai akar masalah lewat lensa hukum, teknik, lingkungan, dan tata kelola; serta menantang narasi simplistik yang kerap menyalahkan satu pihak tanpa memahami kompleksitas kewenangan dan tantangan teknis.

Pendangkalan sebagai Fenomena Teknik Sipil: Antara Laju Sedimentasi dan Perencanaan Dinamis
1.1. Data dan Perhitungan
  • 2018: Kedalaman rancang = 8,0 m

  • 2023: Kedalaman rata‑rata = 4,5 m

  • Penurunan: 3,5 m dalam 5 tahun ⇒ 0,70 m/tahun

Normal untuk muara dengan arus sedang: 0,20–0,30 m/tahun.

Laju 0,70 m/tahun mengindikasikan akumulasi endapan tak terkendali. Jika alur 1 km×100 m: volume sedimen ≈ 70.000 m³/tahun ⇒ 350.000 m³ sejak 2018. Ini menuntut dredging intensif—bukan satu kali setahun, melainkan survei batimetri tiap 3–6 bulan dan pengerukan adaptif berdasarkan data real‑time.

1.2. Under‑Engineering dan Keterbatasan Kapasitas
  • Kapal keruk “Nera 02” kapasitas ~500 m³/hari, idealnya didukung 2 unit 1.000 m³/hari.

  • Downtime kumulatif 18 bulan (2021–2023) karena suku cadang dan perawatan prediktif tak terencana.

  • Kesalahan desain operasional: Tidak ada sistem monitoring sensor kedalaman dan arus, sehingga backlog sedimentasi baru disadari setelah kritis.

2. Kerangka Hukum dan Kewenangan: Mengurai Misplaced Accountability

Menurut perundang‑undangan, urusan pengerukan alur pelabuhan dan pemeliharaan infrastruktur pelabuhan merupakan kewenangan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang dalam hal ini dipegang PT Pelindo, bukan Pemerintah Provinsi. Menyalahkan Pemprov atas lambatnya pengerukan sama dengan menyalahkan pihak yang tidak berwenang, sebuah bentuk misplaced accountability.

  • UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan bahwa pengusahaan pelabuhan dilaksanakan oleh BUP yang ditunjuk pemerintah pusat (Pasal 57) dan kewajiban pemeliharaan serta pengerukan berada di bawah tanggung jawab BUP tersebut (Pasal 59).

  • PP No. 61 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan menegaskan lebih lanjut bahwa operasi teknis pelabuhan—termasuk pengerukan—dikelola oleh pengelola pelabuhan (Pasal 3 dan Pasal 25).

  • UU No. 1/2009 tentang Penerbangan mengatur pesawat berlisensi hanya untuk kegiatan penerbangan sipil; modifikasi untuk operasi teknik pelabuhan akan memerlukan izin ekstra yang justru memperlambat penanganan.

Dengan demikian, menuntut Gubernur atau Pemprov untuk “segera menyelesaikan pendangkalan alur” sama saja menuntut pihak yang tidak memiliki otoritas operasional. Kritik semacam ini merupakan logical fallacy tipe false cause (menyebabkan kesalahan atribusi), di mana kesalahan kinerja PT Pelindo dipersalahkan kepada Pemprov.

3. Dimensi Lingkungan dan Sosial: Dredging vs. Ekosistem
  • Zona Sensitif Area mangrove dan padang lamun memerlukan Amdal ketat. KLHK butuh 60–90 hari kerja untuk kajian lengkap, yang dapat dipangkas lewat rapid environmental assessment namun tanpa mengabaikan mitigasi.

  • Dampak Sosial

    • Isolasi Enggano (4.000 jiwa) ⇒ akses pendidikan, kesehatan, ekonomi terhambat.

    • Kegagalan panen petani ⇒ kerugian ratusan juta rupiah per musim.

  • Trade‑off Dredging cepat (high‑impact, short‑term) vs. pelestarian habitat dasar laut (long‑term). Solusi: adaptive management—pengerukan hanya pada koridor utama, sedangkan sedimen diolah jadi material reklamasi pantai.

4. Mari berbicara Inovasi terkait Tata Kelola dan Model Pembiayaan Inovatif Kedepan
  1. Public–Private Partnership (PPP)

    • Konsorsium PT Pelindo + swasta lokal + lembaga riset, berbagi risiko & investasi.

    • Suku bunga terjangkau, payback via fee jasa pelabuhan dan kontribusi CSR.

  2. Dana Lingkungan (Environmental Compensation Fund)

    • Biaya izin KLHK dialokasikan sebagian untuk dredging berkelanjutan.

    • Skema polluter pays: perusahaan migas yang mengangkut BBM ikut mendanai pemeliharaan alur.

  3. Teknologi dan Digitalisasi

    • Sensor sonar otomatis + IoT untuk pemantauan kedalaman real‑time.

    • Platform transparansi publik: dashboard progress dredging, volume terangkut, peta sedimentasi.

Krisis pendangkalan Pelabuhan Pulau Baai menuntut langkah teknis, regulasi, dan tata kelola yang terintegrasi—bukan saling menyalahkan pihak yang kewenangannya berbeda atau mengangkat isu di luar konteks, seperti acara makan besar 100.000 orang yang sama sekali tak menyentuh akar masalah.

Dengan saling mendukung—bukan mencela—kita bisa memfokuskan energi pada pemecahan masalah: mengembalikan kedalaman alur, menjaga kelancaran distribusi BBM dan logistik, serta memastikan kesejahteraan masyarakat Bengkulu dan Enggano. Bersama, kita wujudkan Pelabuhan Baai yang andal, berkelanjutan, dan berdaya saing.

Related posts
Tutup
Tutup